PUASA

 

 

Puasa

Puasa yang dalam bahasa Arab terambil dari kata

 صام يصوم صوما أو صياما , yang bermakna: menahan.[1]

Puasa dalam terminologi fikih bermakna:

“Menahan dari dari segala yang membatalkan puasa, waktunya dimulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.”

Perintah untuk berpuasa pada bulan Ramadhan pertama kali diwajibkan pada bulan Sya`ban, tahun kedua Hijriyah, Rasulullah sendiri semasa hidupnya pernah sembilan kali berpuasa, delapan kali puasa Ramadhan dengan jumlah 29 hari dan satu kali 30 hari.

Dasar Hukum Puasa Ramadhan:

Sebelum munculnya ijma` kaum Muslimin terhadap kewajiban puasa Ramadhan, dasar hukum puasa Ramadhan adalah firman Allah dan hadits Nabi :

1.    Dalil dari Al Quran diantaranya adalah QS. Al-Baqarah, 2 : 183

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”

2.    Dalil dari hadits diantaranya:

A.   Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

عَنِ أَبي عبدِ الرَّحمنِ عبدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بن الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعتُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " بنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ البَيتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ".

 

Hukum berpuasa:

1.    Wajib, terdapat pada enam keadaan:

Puasa Ramadhan, puasa qadha, puasa kaffarah, puasa pada waktu haji atau umrah sebagai ganti menyembelih fidyah, puasa pada waktu istisqaq jika diperintahkan oleh pemimpin dan puasa nazar.

2.    Sunah, ada tiga macam:

A.   Yang berulang setiap tahun: Puasa hari `Arafah, 9 dan 10 `Asyura, enam hari pulan Syawal, sepuluh awal bulan Zul Hijjah dll.

B.   Yang berulang setiap bulan: puasa hari bidh (tgl 13, 14,15), puasa hari sud (28, 29,30).

C.   Yang berulang setiap minggu: Puasa senin kamis.

Sebaik-baik puasa sunnah adalah puasa Nabi Daud, sehari puasa sehari berbuka.

3.    Makruh: Sengaja berpuasa pada hari Jum`at saja, atau Sabtu saja, atau Minggu saja (tanpa puasa pada hari sebelum dan sesudahnya), puasa setiap hari bagi yang tidak mampu atau bisa menyebabkan tinggalnya amalan sunah lain.

4.    Haram, terbagi menjadi dua macam:

A.   Haram namun sah: puasa sunahnya seorang istri tanpa izin suami.

B.   Haram dan tidak sah, terdapat pada lima kondisi:

a.    Puasa pada hari `Idul Fitri

b.    Puasa pada hari `Idul Adha

c.    Puasa pada hari ke 11, 12 dan 13 (hari tasyriq) dari bulan Zulhijjah.

d.    Puasa pada setengah akhir bulan Sya`ban (dimulai dari tgl 16 sampai akhir bulan Sya`ban), kecuali jika puasanya pada setegah akhir bulan Sya`ban bersambung dengan tanggal 15  (jika ia berhenti satu hari saja maka tidak boleh lagi untuk melanjutkan puasa), begitu pula tidak haram berpuasa pada setengah akhir Sya`ban jika ia memiliki puasa qadha, nazar dan puasa rutin senin kamis.

e.    Puasa pada hari yang dikeragui, puasa pada tgl 30 bulan Sya`ban jika ada berita yang tidak jelas atau kesaksian dari seorang perempuan atau anak kecil bahwa hilal bulan Ramadhan telah kelihatan.

Permasalahan:

Kapan boleh berpuasa pada hari yang dikeragui atau setengah akhir bulan Sya`ban?, diperbolehkan pada tiga keadaan:

A.   Jika mengerjakan puasa wajib, seperti puasa Qada, kaffarah dan nazar.

B.   Jika orang tersebut memiliki puasa rutin, dan kebetulan bertepatan dengan hari yang dikeragui atau setengah sisa bulan sya`ban.

C.   Jika ia sudah berbuasa di hari sebelumnya yaitu pada tgl 15, jika seperti ini ia boleh berpuasa pada tgl 16 dan seterusnya, namun jika terputus dan tidak terdapat sebab lain sebagaimana pada dua poin sebelumnya maka ia tidak boleh lagi berpuasa sampai masuk bulan Ramdhan.

Cara mengetahui masuknya bulan Ramadhan:

1.    Cara penetapan awal Ramadhan yang berlaku untuk umum untuk setiap Muslim adalah sebagai berikut:

A.   Jika seseorang bersaksi dihadapan Imam/ Hakim (Pemimpin) Muslim bahwasanya ia melihat (ru`yah) awal bulan Ramadhan secara langsung, hal ini sesuai dengan Hadits Nabi yang disampaiakan oleh Bukhari:

حَدَّثَنَا آدَمُ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رضي الله عنه يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَوْ قَالَ: قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم: «‌صُومُوا ‌لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ.»

 Ru`yah ini baru dianggap sah jika memenuhi beberapa syarat:

a.    Ru`yah dilakukan setelah terbenam matahari (setelah Maghrib pergantian tanggal dari 29 Sya`ban).

b.    Langit pada malam itu bersih tidak ada awan atau hal lain yang dapat menghalangi ru`yah.

c.    Kesaksian orang yang melihat hilal harus dilakukan di hadapan majlis Hakim dan kesaksian orang tersebut disampaikan ketika saksi telah memenuhi syarat, yaitu `adil.

d.    Hakim memutuskan bahwasanya kesaksian orang tersebut diterima, misalnya Hakim berkata, “Saya membenarkan kesaksian si Fulan barusan bahwa hilal Ramadhan telah terlihat.” Namun jika Hakim tidak menerima kesaksiannya (karena alasan tertentu) maka ru`yah hilal Ramadhan tidka berlaku untuk umat Muslim secara umum, tetapi hanya berlaku untuk orang yang melihat dan yang meyakini kesaksiannya.

e.    Saksi ketika memberikan kesaksian di hadapan Hakim harus menggunakan kata “Saya bersaksi bahwa saya melihat hilal Ramadhan” tidak sah apabila ia berkata, “Saya bersaksi bahwa besok adalah Ramadhan”.

f.     Saksi hilal Ramadhan harus bersifat adil (yang dimaksud dengan adil disini adalah saksi tidak termasuk orang fasiq walaupun tidak ada jaminan ia adil pada dasarnya/ aslinya)[2], laki-laki dan orang merdeka. Tidak sah kesaksian orang fasiq, perempuan dan budak. Kesimpulan untuk poin ini saksi harus memenuhi syarat adil zohir, tidak perlu harus tahu bahwa ia juga adil secara batin.  

Untuk saksi hilal Ramadhan cukup dengan satu orang, sedangkan untuk saksi ru`yah hilal bulan-bulan lain harus dengan dua orang saksi. Dasar ketentuan hukumnya berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud:

عن ابنِ عمرَ قال : تراءَى النَّاسُ الهلالَ فأخبرتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ علَيهِ وسلَّمَ أنِّي رأيتُه فَصامَه وأمر النَّاسَ بصيامِهِ

Dari Ibnu Umar, Orang-orang memperhatikan (berusaha melihat) hilal. Maka aku kabarkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam bahwa aku telah melihatnya. Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan orang-orang berpuasa.”

Diterimanya kesaksian satu orang dalam ru`yah hilal Ramadhan hanya mempengaruhi kewajiban puasa dan hal-hal yang berkaitan dengan puasa Ramadhan, seperti shalat Tarawih, i`tikaf dan umrah yang dikaitkan pelaksanaannya dengan masuk bulan Ramadhan. Sedangkan hal lain yang tidak berkaitan dengan puasa Ramadhan seperti talaq yang di syaratkan jatuh pada awal Ramadhan atau pembebasan budak yang dikaitkan pada awal Ramadhan tidak bisa berlaku hanya dengan satu orang saksi hilal Ramadhan, harus minimal dengan dua orang saksi yang adil secara zohir dan batin. Misalnya seorang suami menyampakain bahwa ia metalaq istrinya jika masuk bulan Ramadhan, lalu pada maghrib setelah tanggal 29 Sya`ban ada yang melihat hilal Ramadhan dan kesaksiannya diterima oleh Hakim, maka besok umat Islam termasuk suami harus mulai berpuasa Ramadhan, namun talaq istrinya belum jatuh malam itu, karena saksi hilal Ramadhan hanya satu orang, talaq suami baru jatuh pada malam kedua Ramadhan. Hal ini disebabkan dikarenakan pentapan talaq harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan pada malam kedua (berdasarkan perhitunagn yang didasari ru`yah hilal satu orang saksi) baru pasti bahwa itu adalah awal Ramadhan, karena dalam hadis sebelumnya disebutkan bahwa jika Sya`ban telah sempurna 30 hari, pasti hari berikutnya awal Ramadhan.

Ru`yah hilal Ramadhan bersifat dzanny karena bersifat ijtihadiyah. Apabila ru`yah hilal yang bersifat dzanni ini tidak diterima berdasarkan ilmu falak yang bersifat qath`I[3] (ilmu falak pada tataran penolakan kemungkinan terlihatnya hilal bersifat pasti) maka kesaksian tidak dapat diterima, walaupun saksi lebih dari dua orang adil secara zohir dan batin. Ini merupakan pendapat Imam Taqiyuddin Subki, namun para fuqaha golongan ashab mazhab Syafi`I tidak menyetujui pendapat ini.

B.   Dengan cara menyempurnakan Sya`ban menjadi tiga puluh hari jika tidak ada kesaksian ru`yah hilal yang diterima Hakim.

C.   Terdapat tanda-tanda umum masuknya awal Ramadhan, seperti adat sebagian tempat dengan membunyikan meriam sebagai tanda masuk bulan Ramadhan, dalam tradisi mesir biasnya masyarakat menggantung lampian-lampian Ramadhan di sepanjang jalan sebagai tanda memasuki bulan Ramadhan.

D.   Ada berita yang telah mencapai derajat mutawatir walaupun dari orang Kristen bahwa awal Ramadhan telah masuk.  

2.    Cara penetapan awal Ramadhan yang berlaku untuk Muslim tertentu adalah sebagai berikut:

A.   Jika laki-laki siqah menyampaikan bahwa ia melihat hilal Ramadhan maka, laki-laki siqah harus berpuasa besok begitupun dengan orang yang mendengarnya walaupun ia tidak yakin dengan info tersebut.

B.   Jika seorang laki-laki bersaksi melihat hilal (walaupun yang bersaksi orang kafir atau fasik), maka laki-laki tersebut wajib berpuasa besok sedangkan orang yang mendengar jika meyakini informasi tersebut juga harus berpuasa besok, tapi apabila ia tidak meyakini info tersebut tidak perlu berpuasa besok.

C.   Bagi seorang hasib (orang yang menghitung waktu berdasarkan revolusi bulan/ gerak bulan) hasil penelitiannya berlaku untuk dirinya dan orang yang meyakini kebenaran hasil perhitungannya.

D.   Bagi seorang munajjim (orang yang mengetahui pergantian bulan berdasarkan kemunculan bintang-bintang tertentu) hasil penelitiannya berlaku untuk dirinya dan orang yang meyakini kebenaran hasil perhitungannya.

E.   Orang yang berijtihad dalam penentuan awal Ramadhan karenaa tidak bisa melihat langsung (ru`yah) atau tidak sampai berita tentang awal Ramadhan hasil ijtihadnya berlaku untuk dirinya dan orang yang meyakini kebenaran hasil perhitungannya. Contohnya orang yang dikurung dibawah tanah.

Mathali` (Tempat terbit matahari atau bintang)

Mathali` merupakan istilah untuk tempat atau waktu munculnya matahari atau bulan dalam hitungan hari, bulan dan tahun. Mathali` bisa digantikan dengan istilah Manazil sebagaimana yang terdapat dalam Al Quran surat Yasin ayat 39:

 وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ

"Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua."

Apabila dua tempat memiliki mathla` yang sama maka awal Ramadhannyapun akan sama. Jarak antara mathla` tidak kurang dari 24 farsahk atau 120 kilometer[4], jarak ini setara dengan 8 derajat yang selisih waktunya 32 menit.  Dasar hukum perbedaan mathla` adalah Hadits Nabi

حدَّثنا موسى بنُ إسماعيلَ، حدَّثنا إسماعيلُ -يعني ابنَ جعفر- أخبرني محمدُ بنُ أبي حرملَةَ ، أخبرني كُرَيْبٌ، أن أُمَّ الفضلِ ابنةَ الحارث بَعَثَتْهُ إلى معاوية بالشامِ، قال: فَقَدِمْتُ الشامَ فقضيت حاجَتَها، فاستُهِلَّ رَمَضَانُ وأنا بالشام، ‌فرأينا ‌الهلالَ ليلة الجمعة، ثم قَدِمت المدينة في آخرِ الشهرِ، فسألني ابنُ عباس، ثم ذكر الهلال، فقال: متى رأيتُم الهلالَ؟ قلتُ: رأيتُه ليلةَ الجمعة، قال: أنتَ رأيتَه؟ قلتُ: نعم، ورآه الناسُ، وصَامُوا وصامَ معاويةُ، قال: لكنا رأيناه ليلةَ السبت، فلا نزالُ نصومه حتى نكمِّل الثلاثينَ أو نراه، فقلتُ: أفلا تكتفي برؤيةِ معاوية وصيامِه؟ قال: لا، هكذا أمرنا رسولُ الله صلى الله عليه وسلم

Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Yahya] dan [Yahya bin Ayyub] dan [Qutaibah] dan [Ibnu Hujr] -Yahya bin Yahya berakata- telah mengabarkan kepada kami -sementara dua orang yang lain berkata- telah menceritakan kepada kami [Isma'il, yakni anak Ja'far] dari [Muhammad bin Abu Harmalah] dari [Kuraib] bahwasanya; Ummul Fadhl binti Al Harits mengutusnya menghadap Mu'awiyah di Syam. Kuraib berkata; Aku pun datang ke Syam dan menyampaikan keperluannya kepadanya. Ketika itu aku melihat hilal awal Ramadhan pada saat masih berada di Syam, aku melihatnya pada malam Jum'at. Kemudian aku sampai di Madinah pada akhir bulan. Maka [Abdullah bin Abbas] bertanya kepadaku tentang hilal, ia bertanya, "Kapan kalian melihatnya?" Aku menjawab, "Kami melihatnya pada malam Jum'at." Ia bertanya lagi, "Apakah kamu yang melihatnya?" Aku menjawab, "Ya, orang-orang juga melihatnya sehingga mereka mulai melaksanakan puasa begitu juga Mu'awiyah." Ibnu Abbas berkata, "Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Dan kamipun sekarang masih berpuasa untuk menggenapkannya menjadi tiga puluh hari atau hingga kami melihat hilal." Aku pun bertanya, "Tidakkah cukup bagimu untuk mengikuti ru'yah Mu'awiyah dan puasanya?" Ia menjawab, "Tidak, beginilah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kepada kami."

Apabila terdapat perbedaan mathla` antara dua wilayah maka tidak mesti sama dalam awal Ramadhan. Pandangan mazhab Hanafi berbeda dari penjelasan mazhab Syafi`I diatas, dalam mazhab Hanafi jika satu tempat telah melihat hilal Ramadhan maka seluruh umat Islam dimanapun berada harus mengikuti ru`yah tersebut, dalam mazhab Hanafi tidak mengenal konsep perbedaan mathla`. Dalam literatur Hanafi disebutkan, “Jika peduduk bagian barat bumi telah melihat hilal maka penduduk bumi bagian timur harus mengikutinya.”

Jika ada keraguan antara mathla` dua negara yang berdekatan, seperti antara Indonesia dan Malaysia maka tidak perlu disamakan perhitungan awal bulan. Jika mathla` dua negeri diyakini sama maka perhitungan awal bulan juga harus disamakan  

Ketentuan puasa orang yang berpindah ke mathla` yang berbeda

Hukum puasa orang yang berpindah dari satu mathla` ke mathla` lain ada empat kemungkinan, yaitu:

1.    Orang yang belum berpuasa berpindah ke tempat yang telah memasuki bulan Ramadhan. Misalnya jika Budi yang tinggal di Iraq melakukan perjalanan pada tanggal 30 Sya`ban, dari Iraq ia tidak berpuasa, kemudian ia terbang ke Mesir, sesampainya di Mesir siang hari dan ternyata di Mesir pada saat itu telah masuk hari pertama puasa Ramadhan. Budi sesampainya di Mesir harus ikut berpuasa untuk waktu yang tersisa sampai maghrib, karena ia tidak berniat dan berpuasa penuh pada hari itu ia harus mengganti puasa hari pertamanya jika ia masih di Mesir sampai `Idul Fitri.     

2.    Orang yang berpuasa berpindah ketempat yang belum masuk bulan Ramadhan. Misalnya Budi yang tinggal di Iraq telah mulai berpuasa Ramadhan terbang ke Mesir dan sampai sebelum Maghrib. Di Mesir ternyata hari itu belum masuk satu Ramadhan karena hilal belum kelihatan. Terdapat dua pendapat:

A.   Pendapat pertama menyatakan bahwa Budi harus melanjutkan puasa, tidak boleh membatalkannya karena ia telah berniat dan memulai puasa wajib, ibadah wajib tidak boleh dibatalkan begitu saja. Ini adapah pendapat Ibnu Hajar salah seorang fuqaha Syafi`iyah.

B.   Pendapat kedua datang dari Imam Ramli, ia berpendapat bahwa budi boleh membatalkan puasanya, karena ikut hukum bagi orang Mesir.

3.    Berpindah di akhir Ramadhan ke tempat yang masih berstatus bulan Ramadhan. Misalnya Budi telah memasuki hari ke 30 Ramadhan di Iraq, di hari itu ia terbang ke Mesir dan sampai setelah Maghrib. Ternyata besok di Mesir masih Ramadhan, karena awal Ramadhan di Iraq lebih awal satu hari dari Mesir. Besoknya Budi harus ikut berpuasa Ramadhan, walaupun bagi dia itu adalah puasa hari ke 31.

Atau pada hari `Idhul Fitri di Ira` Budi terbang ke Mesir, ia sampai sebelum Maghrib, maka Budi harus ikut berluasa di sisa hari tersebut, karena Budi secara hukum harus mengikuti orang Mesir.

4.    Berpindah di akhir Ramadhan ke tempat yang telah masuk Syawwal. Misalnya Budi terbang dari Iraq ke Mesir pada tanggal 30 Ramadhan, sampai Mesir sebelum Maghrib dan ternyata orang telah merayakan 1 Syawwal. Budi harus membatalkan puasanya karena ikut 1 Syawwal Mesir, Budi tidak perlu mengganti puasa hari itu. Jika dihitung Budi hanya berpuasa 29 hari, karena puasa ke 30 dibatalkan karena mengikuti hukum orang Mesir.

Apabila Budi terbang dari iraq ke Mesir pada tanggal 29 Ramadhan (versi orang Iraq), kemudian sampai di Mesir sebelum Maghrib ternyata di Mesir hari itu `Idhul Fitri, maka Budi harus membatalkan puasanya yang ke 29, karena Budi harus ikut waktu masyarakat Mesir (yang kebetulan hari itu lebaran), kamudian setelah lebaran `Idhul Fitri Budi harus mengganti puasa ke 29 tersebut, hal ini dikarenakan Budi baru berpuasa 28 hari, tidak ada bulan qamariyah yang berjumlah 28 hari saja.    

 

 

Dapat juga di simpulkan seperti ini:

1.    Jika seseorang bepergian kesuatu tempat pada akhir bulan sya`ban (dalam keadaan tidak berpuasa), kemudian ditempat yang ia kunjungi ternyata orang sedang menjalankan puasa Ramadhan, atau ia sudah mulai berpuasa lalu ketika sampai di tempat yang baru ia kunjungi ternyata disana belum mulai bulan puasa, pada dua keadaan ini apa yang harus ia lakukan?

A.   Pada kasus pertama ia wajib untuk mengikuti puasa diwaktu tersebut, maka ia wajib berpuasa, jika ia tidak sempat berniat sebelum fajar maka wajib qadha.

B.   Jiak pada kasus kedua maka ia harus melanjutkan puasa menurut Imam Ibnu Hajar (karena ia sudah memulai puasa dari tempat asalnya) atau membatalkan puasanya, karena mengikuti waktu setempat, menurut Imam Ramli.

2.    Jika seseorang di akhir bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa melakukan perjalanan kesuatu tempat, kemudian ia dapati ditempat yang baru ia datangi sudah masuk bulan syawal, atau ia sudah selesai dari puasa Ramadhan ketika berangkat dan ditempat yang baru ia datangi orang-orang masih berpuasa, apa yang harus ia lakukan?

-Pada dua keadaan tersebut iu wajib untuk mengikuti kondisi tempat yang baru ia datangi, berpuasa jika orang-orang masih perpuasa atau berbuka jika orang-orang disana sudah berbuka.

Hukum orang yang meninggalkan puasa

Orang yang tidak berpuasa dan mengingkari kewajiban puasa hukumnya kafir, dengan syarat orang tersebut bukan orang yang baru masuk Islam dan belum mengenal Islam dengan baik atau orang Islam yang tinggal jauh dari para Ulama dan tidak dapat akses informasi keislaman dengan baik. Sedangkan orang yang tidak berpuasa bukan karena mengingkari kewajiban puasa, bisa jadi karena malas dan tidak ada uzur syar`I maka orang tersebut berdosa, harus di kurung dan dilarang makan dan minum seperti orang yang berpuasa normal, ini sebagai bentuk hukuman dan penghirmataan pada bulan mulia Ramadhan.

Syarat sah puasa:

1.    Dalam keadaan islam, mesti ia dalam keadaan Islam satu hari penuh, jika sempat murtad dan Kembali lagi memeluk islam maka puasanya batal, walaupun waktu murtadnya cuma satu menit.

2.    Berakal (maksudnya dusini adalah mumayyiz), jika sempat gila walaupun hanya sebentar maka puasanya batal.

3.    Suci dari haid dan nifas, juga disyaratkan bagi perempuan untuk suci dari haid dan nifas sepanjang hari, jika keluar darah haid atau nifas maka puasanya batal, namun disunahkan untuk melanjutkan berpuasa sampai matahari terbenam.

4.    Mengetahui bahwa waktu tersebut diperbolehkan untuk berpuasa.

Syarat wajib puasa:

1.    Islam, jika seseorang pernah murtad dan meninggalkan puasa wajib (walaupun sempat gila ketika bulan Ramdhan ketika ia mustad) maka ia harus mengqada puasa tersebut, sebagai bentuk hukumam baginya.

2.    Mukallaf, maksudnya baligh dan berakal, sedangkan untuk anak kecil dianjurkan kepada walinya untuk mengajarkannya berpuasa mulai dari umur tujuh tahun jika pada umur sepuluh tahun belum juga mau untuk berpuasa maka harus di peringatkan.

3.    Memiliki kemampuan, baik secara fisik (sehat) maupun syar`I (tidak dalam keadaan haid atau nifas).

Ukuran sakit yang membolehkan untuk tidak perbuasa: sakit yang sangat parah, atau dengan berpuasa dapat menunda proses penyembuhan, atau jika ia tetap berpuasa akan bertambah parah sakitnya.

4.    Mukim (tinggal), maka tidak diwajibkan bagi musafir untuk berpuasa Ramadhan, dengan syarat ia memulai perjalanannya sebelum terbiat fajar.

Namun dianjurkan bagi musafir yang sanggup untuk berpuasa untuk tidak membatalkan puasanya.

Rukun puasa:

1.    Berniat, baik puasa sunah atau wajib. Pada puasa Ramadhan diwajibkan berniat untuk setiap hari pada malam Ramadhan, tidak cukup satu kali diawal Ramadhan.

Perbedaan niat puasa sunah dan wajib;

Puasa sunah:

A.   Masuk waktu berniat dari terbenamnya matahari pada hari itu.

B.   Waktu berniat habis ketika masuk waktu zuhur pada siang harinya. Bolehnya berniat untuk puasa sunah setelah terbit fajar dengan dua syarat:

a.    Belum masuk waktu zuhur (zawal)

b.    Belum melakukan sesuatu yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar sampai ia berniat puasa sunah.

C.   Tidak wajib menentukan jenis puasa sunahnya, kecuali puasa yang memiliki waktu-waktu khusus, seperti puasa `Arafah dsb.

D.   Boleh menggabungkan dua puasa sunnah dalam satu waktu.

Puasa wajib:

A.   Tabyit niyat, masuk waktu berniat dari terbenamnya matahari pada hari itu. Berakhir waktu untuk berniat sampai terbit fajar.

B.   Ta`yin, harus menentukan jenis puasa wajib yang akan ia jalani, seperti puasa Ramadhan atau nazar.

C.   Tidak boleh menggabungkan dua puasa wajib dalam satu waktu.

D.   Niat untuk puasa Ramadhan harus dilakukan setiap malam, tidak sah jika berniat satu kali untuk seluruh bulan Ramadhan dalam mazhab Syafi`I, berbeda dengan mazhab Malik, cukup berniata satu kali untuk Ramadhan.

Contoh niat puasa Ramadhan yang dianjurkan:

نَوَيْتَ صَوْمَ غَذٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

“Sengaja aku niat puasa besok untuk melaksanakan puasa Ramadhan tahun ini karena Allah .”

Permasalahan:

Kapan seseorang tetap sah puasa sunahnya dengan niat setelah terbit fajar walaupun telah melakukan sesuatu yang membatalkan puasa?

-Jika orang tersebut ia memiliki puasa rutin seperti puasa senin kamis, ia lupa untuk berpuasa namun ia ingat bahwa hari itu senin atau kamis, jika ia ingat untuk berpuasa maka ia boleh berniat ketika itu dengan syarat belum masuk waktu zuhur. Namun pendapat ini (yang tetap membolehkan) termasuk pendapat yang lemah dalam mazhab Syafi`i.

2. Meninggalkan yang membatalkan puasa (dalam keadaan tidak terpaksa dan mengetahuinya). Maka tidaklah batal puasa orang yang makan dengan terpaksa atau terlupa.

Sunah-sunah dalam berpuasa:

1.    Menyegerakan berbuka jika sudah yakin terbenam matahari, jika masih ragu maka untuk berhati-hati harus ditunggu sampai beberapa saat.

2.    Melaksanakan sahur, masuk waktunya dari pertengahan malam.

3.    Mengakhirkan sahur sampai sekiranya tidak terlalu dekat dengan masuknya waktu fajar.

4.    Berbuka dengan kurma basah yang berjumlah ganjil, jika tidak ada maka dengan kurma muda, jika tidak ada maka dengan air zamzam, jika tidak ada maka dengan air putih, jika tidak ada maka dengan cairang yang manis (seperti madu dsb), jika tidak ada maka dengan makanan yang manis.

5.    Berdoa ketika berbuka (boleh setelah atau sebelum berbuka)

6.    Memberikan makanan untuk berbuka orang lain.

7.    Jika memiliki mandi wajib maka disunahkan untuk melakukannya sebelum terbit fajar.

8.    Mandi sehabis berbuka, agar tubuh kembali segar.

9.    Melaksanakan shalat tarawih dan witir.

10. Memperbanyak membaca dan mepelajari al Quran

11. Memperbanyak melakukan perbuatan-perbuatan sunah lainnya.

Perbuatan makruh waktu berpuasa:

1.    Melakukan bekam pada siang waktu puasa.

2.    Membuang air sisa berbuka, maksudnya membuang air minum dalam mulut yang tersisa ketika berbuka.

3.    Mandi siang hari dangan berendam.

4.    Menggosok gigi setelah masuk waktu zuhur. Namun jika timbul bau mulut karena sebab selain berpuasa maka diperbolehkan untuk menggosok gigi.

5.    Terlalu banyak makan pada waktu sahur dan berbuka.

6.    Banyak tidur.

7.    Mengikuti shahwat yang mubah, seberti mendengar nyanyian, memakai perfum dan terlalu banyak melihat hal yang ia sukai.

Hal-hal yang membatalkan puasa:

1.    Yang mebatalkan pahala puasa, diantaranya:

Ghibah, berbohong, sumpah palsu, berkata-kata kotor dll.

Secara zohir puasa orang yang berghibah di bulan Ramadhan tidak batal dan tidak perlu di qadha, tapi ia tidak mendapat pahala dari ibadah puasa yang ia kerjakan.

2.    Yang membatalkan puasa secara zohir dan harus diqadha adalah;

A.   Murtad.

B.   Keluarnya darah haid atau nifas, walaupun sebentar.

C.   Melahirkan.

D.   Gila, walaupun hanya sesaat.

E.   Pingsan dan mabuk, dengan syarat:

a.    Ia pingsan atau mabuk sepanjang hari (mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari), jika sempat sadar walaupun sebentar, maka puasanya sah.

b.    Dilakukan dengan sengaja.

F.    Jimak (bersenggama), baik itu dari qubul atau dubur (Ia melakukannya dengan sengaja, megetahui hal itu dilarang dan tidak terpaksa).

Maka, jika terjadi hal seperti ini, mengakibatkan beberapa hal:

a.    Puasanya batal (baik yang laki-laki maupun perempuan).

b.    Tetap melanjutkan menahan dari yang membatalkan puasa pada sisa waktu hari itu (laki-laki dan perempuan).

c.    Wajib qadha bagi laki-laki dan perempuan juga kecuali perempuanya dipaksa.

d.    Jika itu puasa Ramadhan maka wajib membayar kaffarah `uzma bagi yang laki-laki saja.

Yang mesti dibayarkan untuk kaffarah `uzma (harus berurutan, baru boleh berpindah ke pilihan berikutnya jika tidak sanggup atau tidak bisa mengerjakan yang sebelumnya):

1.    Memerdekakan budak

2.    Berpuasa dua bulan berturut turut, kecuali untuk perempuan jika terputus karena haid atau nifas.

3.    Memberi makan enam puluh orang fakir miskin, setiap orang satu mud makanan pokok (1 mud = 750 gram)[5].

e.    Diberikan sangsi oleh hakim jika ia tidak mau bertobat untuk laki-laki dan perempuan kecuali jika perempuannya dipaksa.

Permasalahan:

1.    Jika seorang musafir memilih untuk berpuasa lalu ia menjimak istrinya, maka ia tidak diwajibkan membayar kaffarah, karena sebenarnya ia diperbolehkan untuk tidak berpuasa ramadhan.

2.    Jika laki-laki yang dikenai kaffarah `uzma meninggal sebelum terbenam matahari maka gugur keajibannya membayarkan kaffarah, tidak perlu diambilkan dari harta warisan.

G.   Masuk benda kedalam rongga tubuh. Termasuk rongga disini kepala, dada dan perut, misalnya seseorang tertusuk pisau pada salah satu bagian tersebut maka puasanya batal, juga dapat membatalkan puasa jika ada benda yang masuk tubuh melalui: saluran telinga, saluran pernapasan, kedalam mulut, qubul dan dubur.

Permasalah;

1.    Bagaimana hukumnya menelan dahak atau yang semisalnya?

a.    Jika dahaknya sudah sampai tempat keluarnya huruf ح (ha) menurut pendapat Imam Nawawi atau hurufخ  (kha) menurut pendapat Imam Rafi`i, jika ia telan lagi maka batal puasnya.

b.    Jika dahaknya sudah sampai ketempat keluarnya huruf ه (ha), jika ia telan maka puasnya tidak batal.

2.    Hukum menelan air liur, menelan air liur tidak membatalkan puasa jika memenuhi empat syarat:

a.    Air liur sendiri.

b.    Tidak bercampur dengan benda asing, misalnya bercampur dengan asap rokok, dsb.

c.    Tidak bercampur dengan benda najis, seperti darah pada gusi.

d.    Masih dalam mulutnya, jika sudah sampai keluar bibir lalu ia telan kembali maka puasanya batal.

3.    Hukum kemasukan air ketika mandi atau ketika berkumur-kumur dan istinsyaq dengan tidak sengaja.

-Jika itu mandi wajib atau sunah lalu ia mandi dengan gayung, maka tidak batal puasanya.

- Jika itu kumur-kumur dan istinsyaq pada sunah wuduk atau sunah mandi, maka:

a. Jika ia tidak berlebihan dalam melakukannya maka puasnya tidak batal.

b. Jika berlebihan maka puasanya batal.

-Jika itu kumur-kumur atau istinsyaq biasa (bukan bagian dari sunah wuduk atau mandi) maka puasanya menjadi batal jika kemasukan air, walaupun tidak berlebihan.

E.   Istimnak (onani)

Kesimpulan hukum yang berkaitan dengan keluarnya mani ketika berpuasa bisa kita detailkan lagi sebagai berikut:

-Keluarnya mani bisa jadi karena:

A. Onani, maka batal puasa secara mutlak.

B. Bersentuhan fisik, ada dua kemungkinan:

a. Jika menyentuh sesuatu yang pada dasarnya tidak membangkitkan syahwat, seperti motor, poster dsb, jika keluar mani maka tidak membatalkan puasa.

b. Jika menyentuh sesuatu yang berpotensi membangkitkan syahwat, maka ada dua kemungkina lagi;

i. Mahram, batal jika:

--dengan syahwat dan

--tanpa ada penghalang (seperti kain).

ii. Bukan mahram (istri atau orang asing), batal puasa jika:

--dengan syahwat atau tanpa syahwat

--tanpa penghalang.

C. Berkhayal, maka ada dua kemungkinan;

i. Jika ia punya kebiasaan mudah keluar mani dengan berkhayal, maka puasanya otomatis menjadi batal jika airmaninya keluar.

ii. Jika ia tidak punya kebiasan mudah keluar air mani, maka puasanya tidak batal.

D. Mimpi basah disiang hari puasa, hal ini sama sekali tidak membatalkan puasa.

F. Sengaja muntah. Sehabis muntah mesti mencuci mulutnya dari sisa-sisa muntah, karena muntah hukumnya najis.

Hal-hal yang berkaitan dengan qadha dan membayar fidyah:

No

Kemungkinannya   

Qadha

Fidyah

1

Anak kecil (belum baligh)

Tidak

Tidak

2

Gila (hilang akal) yang disengaja

Iya

Tidak

3

Gila (hilang akal)  yang tidak disengaja

Tidak

Tidak

4

Sakit yang ada harapan sembuh

Ya

Tidak

5

Sakit yang tidak ada harapan sembuh

Tidak

Iya

6

Orang tua (yang sudah pikun)

Tidak

Iya

7

Musafir

Iya

Tidak

8

Ibu hamil atau menyusui yang khawatir akan kondisi dirinya atau sekaligus dengan kondisi bayi/ kandungannya.

Iya

Tidak

9

Ibu hamil atau menyusui yang khawatir pada kondisi bayinya saja.

Iya

Iya

 

10

Keluar darah haid atau nifas

Iya

Tidak

11

Orang yang lupa niat puasa wajib

Iya

Tidak

12

Orang yang pingsan sepanjang hari dan sengaja

Iya

Tidak

13

Orang yang makan adan minum dengan sengaja

Iya

Tidak

 

Fidiyah dibayarkan dalam bentuk makanan pokok yang belum diolah, ukurannya satu mud atau setara kurang lebih 750 gram. Fidiyah hanya boleh diberikan kepada orang fakir dan miskin, tidak boleh diserahkan kepada golongan penerima zakat lain, seperrti ibnu sabil dan gharimin. Dalilnya adalah Quran surat Al Baqarah ayat 184:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ..

"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin..."

Walaupun dalam ayat diatas hanya disebutkan orang miskin, tidak disebutkan orang fakir, namun orang fakir secara umam sama dengan orang miskin, bahkan kondisi orang fakir lebih memiriskan.  

Permasalahan:

1.    Jika seseorang memiliki hutang qadha puasa namun meninggal sebelum sempat melakukannya (waktu memungkinnkan untuk itu):

-          Maka bagi karib kerabatnya boleh memilih antara berpuasa dengan niat menggantikan puasa orang tersebut atau membayarkan fidyah, dan yang kedua lebih dianjurkan.

-          Namun apabila yang menggantikan puasa tersebut orang asing, maka:

A.      Jika sudah mendapat izin sebelum wafat atau dari karib kerabat mayait maka sah.

B.      Jika tanpa izin atau persetujuan karib kerabat maka tidak sah.

-          Jika yang membayarkan fidyah mayit orang asing, maka dihitung sah, walaupun tanpa seizin mayit ketika masih hidup atau karib kerabat.

 

2.    Jika seseorang memiliki hutang qadha puasa ramadhan kemudian masuk Ramadhan berikutnya namun ia masih belum mengqadha puasa tersebut, maka disamping kewajiban qadha masih ada ia wajib membayar fidyah sebanyak jumlah puasa yang  ia qadha, jika ditahun berikutnya ketika masih belum ia qadha maka disamping kewajiban qadha ia wajib membayar fidyah dengan dikalikan dua dari jumlah hari puasa yang ia qadha dan begitu seterusnya.

3.    Jika kita melihat orang yang sedang berpuasa makan atau minum tanpa sengaja, maka jika orang tersebut merupakan orang yang shalih maka disunahkan untuk mengingatkannya, namun jika orang tersebut merupakan orang yang sering melanggar perintah Allah, maka wajib mengingatkannya.

Keaadaan dimana orang yang puasanya sudah batal tetapi tetap wajib menahan sampai terbenam matahari:

1.    Orang yang membatalkan puasanya dengan sengaja

2.    Orang yang lupa berniat puasa wajib dari sebelum terbit fajar

3.    Orang pada hari syak baru tahu bahwasanya hari itu telah masuk tanggal satu Ramadhan

4.    Orang yang keluar dari agama Islam dan Kembali memeluk islam di hari yang sama

5.    Orang yang berbuka ketika belum masuk waktunya (maka puasanya batal), jika ia sadar maka wajib mengeluarkan makanan dan minuman yang masih tersisa dalam mulutnya lalu kembali menahan sampai yakin telah terbenam matahari.

6.    Orang makan sahur tapi ternyata waktu fajar telah masuk (puasnya batal karena makan dan minum dengan sengaja), walaupun puasnya telah batal tetapi ia tetap wajib menahan sampai terbanamnya matahari.

Keadaan dimana orang yang puasanya sudah batal tetapi disunahkan menahan sampai terbenam matahari:

1.    Orang yang sakit sejak malam hari dan tidak berniat untuk puasa besoknya karena menyangka belum akan sembuh, tapi ternyata ia sembuh di siang hari bulan puasa.

2.    Musafir yang sempai tujuan disiang hari bulan puasa

3.    Wanita hamil dan menyusui tatkala hilang kekhawatiran terhadap dirinya dan bayi atau kandungannya pada siang hari Ramadhan

4.    Anak kecil yang baligh pada siang hari Ramadhan

5.    Orang gila yang sadar pada siang Ramadhan

6.    Orang kafir yang memeluk islam siang hari Ramadhan

7.    Perempuan haid dan nifas, apabila selesai masa haid atau nifasnya pada siang hari Ramadhan.

 



[1] Terdapat dua pandangan dalam ilmu bahasa mengenai apakah dalam bahasa Arab menegnal sinonim atau tidak. Diantara ulama ada yang menyamakan makna  الصوم  dan الصيام , namun ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara kata الصوم dan الصيام .

[2] Terdapat tiga tingkatan orang berdasarkan informasi mengenai sifat adil, yang pertama orang yang disepakati oleh masyarakat atau hakim sebagai orang adil. Yang kedua, orang yang dicap fasiq oleh hakim atau masyarakat. Yang ketiga, orang yang tidak diketahui apakah ia Adil namun secara pasti ia bukan orang fasiq, ini golongan tengah dari dua sebelumnya.

[3] Ilmua Falak dapat mengetahui kemungkinan ru`yah hilal dan juga bisa mengatahui kemungkinan tidak terlihatnya hilal. Dalam kajian fikih klasik kemungkinan terlihatnya hilal dengan ilmu falak tidak dapat menjadi dasar penetapan awal Ramadhan. Kemungkinan tidak terlihat hilal berdasarkan ilmu falak dalam kajian fikih klasik dapat membatalkan ru`yah satu orang saksi mata. Posisi tidak mungkin terlihat hilal dengan ilmu Falak lebih kuat dari pada kemungkinan terlihatnya hilal dengan ilmu Falak. Dalilnya berdasarkan hadits nabi  (‌صُومُوا ‌لِرُؤْيَتِهِ...) , secara tegas Nabi mensyaratkan ru`yah sebagai cara satu-satunya untuk menetapkan satu Ramadhan.

[4] Sayyid `Alawi bin Abdullah bin Husain bin Al `Aidarus dalam Al Manhal Warif berpendapat bahwa 24 farskah sama dengan 144 km, karena 1 farsakh setara dengan 6 km. Lihat: Al Manhal Al Warif, cet. Dar Dhiya, Bairut, hal. 462

[5] Sebagian ulama menghitung satu mud sama dengan 508, 6 gr.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKU , EBI DAN CHAT-GPT (Kisah Nyata)

Kisi Kisi Ujian sekolah